Fotobersama dengan Pengasuh PP Kauman, Lasem
Lasem adalah kota bersejarah di pinggiran pesisir Jawa Tengah. Sejuta ukiran leluhur nampak indah dipandang. Setelah ditetapkan sebagai Tiongkok kecil, Lasem menjadi objek wisata serta penelitian. Karena hasil akulturasi tiga budaya (Tionghoa, Jawa, Islam) mampu menciptakan warna-warni kota ini.
Background PP. Bodo Al Frustasiyah
Berbagai bangunan berdiri kokoh, meski tak berusia muda lagi. Berbagai seni tetap lestari dan mampu bersaing dengan produk global. Interaksi sosial kemasyarakatan sangat teratur, tidak ada perpecahan meski terbentuk dari berbagai etnis.
Menurut pengasuh PP Kauman, Gus Zaim, hubungan social yang teratur antar etnis di Lasem sudah terbentuk sejak dulu. Masyarakat lasem selalu welcome pada setiappendatang baik etnis Tionghoa maupun Islam. Tak terkecuali ekspedisi akbar Laksamana Ceng Ho, yang mendasari terbentuknya kampong pecinan di Lasem.
Gerbang PP KAUMAN
“Masyarakat hidup dengan makmur. Mereka tidak memandang agama maupun etnis masing-masing. Bahkan dulu kami bersatu melawan Kolonial Belanda” Tutur Gus Zaim.
Akulturasi budaya inilah yang meninggalkan berbagai kebudayaan di Lasem. Laksamana Ceng Ho adalah Panglima dari negeri Campa yang berniatan mengelilingi dunia untuk mencari inspirasi dari Negara-negara di dunia kemudian dikembangkan di negerinya. Pesisir Lasem tidak luput menjadi pendaratan kapal sang Laksamana.
Lokasi makam Bhre Lasem 1. Bukit KAJAR
Selain misi ekspedisi Ma He (Laksamana Ceng Ho, red) memiliki tujuan lain, yaitu berdakwah dan menanamkan panji Islam pada masyarakat Lasem. Binang Un anak buah Dhang Puhawang (Laksamana) memutuskan menetap di lasem. Kemudian putrinya dinikahi oleh raja Lasem saat itu Badranala. Pemerintahan yang dulunya berada di bumi Kriyan dipindahkan di Bonag, Binagun. Kemudian putra mereka dijadikan menantu Sunan Ampel. Dari sinilah pemerintahan yang dulunya didasari kepercayaan Hindu-Siwa dari kerajaan Majapahit berubah menjadi Islam.
Kompleks Makam Nyai Ageng Maloko
Seiring dengan berjalannya waktu kerajaan Lasem menjadi Kadipaten. Pada masa kepemimpinan Adipati Tejokusumo I, dibangun Masjid Jami’ ( Masjid agung Lasem) sebagai tanda kebesaran kerajaan saat itu. Dari berbagai peninggalan inilah berbagai sejarawan hadir untuk melakukan penelitian. Termasuk MA Al Anwar Sarang yang mengirimkan 23 delegasi penelitian sejarah. Penelitian dilaksanakan pada 16 April 2018.
Tujuan pertama delegasi ini adalah PP Kauman yang berlokasi di ditengah kampung pecinan Karangturi. Kita akan menjumpai bangunan Tionghoa dengan ciri khas pintu bertulis huruf FU dengan arti “Umur setinggi gunung, rezeki sedalam samudra”. Tak sekadar itu di sana juga berdiri kokoh rumah tua peninggalan keluarga Lo, yang ditempati tiga generasi.
Penemuan Artefak, sekitar Masjid Lasem
Tujuan kedua kami adalah situs Masjid Jami’. Masid yang dibangun oleh Adpati Tedjokusuma bersama ulama’-ulama’ besar diantaranya Mbah Sambu ( Sayyid Abdurrahman ) . Saat pembugaran ditemukan artefak zaman Majapahit diantaranya patung, keramik dan satu keramik yang sangat istimewa. Keramik itu adalah pecahan piring yang berlukiskan Masjid dengan tiga menara serta kubah besar. Suatu hal yang luar biasa, bila diamati lukisan itu sama seperti arsitektur masjid Lasem saat ini.
Cap Batik jaman Kerajaan Lasem
Rasa ingin tahu yang besar menuntut tim delegasi MA Al Anwar bertolak ke Desa Kajar. Rimbunnya pepohonan di atas bukit nan indah di Kajar ternyata menyimpan berbagai misteri. Sebuah batu andeshit yang berbentuk Linga, dikonservasi. Menurut catatan sejarah Batu ini adalah petilasan Hayam Wuruk. Kemudian batu wisuda yang digunakan untuk melantik Dhuitendhu Dewi menjadi raja dengan gelar Bhre Lasem I.
Museum di resto ROEMAH OI
Kemudian kami beralih menyusuri pesarean Nyai Ageng Maloko yang bersebelahan dengan Pondok “Bodo Al Frustasiyah”. Selanjutnya perjalanan sejarah bergegas menuju Pasujudan Sunan Bonang. Beberapa temuan membuktikan riwayat dakwah sang Sunan. Serta keberadaan makam yang sampai kini masih menjadi pembicaraan hangat.